LAFAL YANG DITINJAU DARI SEGI KEJELASANNYA DAN CAKUPANNYA


LAFAL YANG DITINJAU DARI SEGI KEJELASANNYA DAN CAKUPANNYA
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Masturi, Lc., M. Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 3
1.       Rossyana Latifatul Fajry          (1710610049)
2.       Izzatul Maftuhah                       (1710610050)
3.       Ahmad Rifqil Hanif                  (1710610051)
4.       Rohmatul Inayah                       (1710610052)

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Metodologi fikih dikenal dengan ilmu ushul fikih, ushul fikih dan fikih merupakan bagian dari bahan ajar atau bidang studi bagi peserta didik di madrasah maupun di perguruan tinggi. Materinya mencangkup metodologi ushul fikih dan penerapannya dalam materi fikih ibadah dan muamalah yang diliputi dengan berbagai pendapat dan argumen yang berbeda-beda dari para ulama, dan saat ini cukup berkembang di Indonesia.
Dengan demikian, sebelum seseorang mengkaji meteri fikih, hendaknya ia telah mengkaji ilmu ushul fikih terlebih dahulu, sehingga ia dapat mengetahui alasan ulama menetapkan suatu hukum fikih juga agar tujuan mempelajari ushul fikih ini tercapai, yaitu terhindar dari sifat taklid atau sifat ikut-ikutan tanpa mengetahui dasar ia mengikuti. Dalam makalah ini, pemakalah akan membahas tentang istinbath (cara pengambilan hukum). Secara garis besar, metode istinbat dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid (tujuan) syariah, dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan.
Ada dua pendekatan yang digunakan dalam mengambil hukum dari Alquran dan As Sunah, yaitu pendekatan lafal (thuruq lafdziyah) yang sering disebut istinbat dan pendekatan makna (thuruq ma’nawiyah) disebut juga istidlal.
Pada makalah ini, kami akan membahas mengenai “Lafal yang Ditinjau Dari Segi Kejelasan dan Cakupannya.”
B.    Rumusan Masalah
1.     Apa itu lafal yang jelas maknanya (wadhih ad-dalalah)?
2.     Apa saja macam-macam lafal yang jelas maknanya (wadhih ad-dalalah)?
3.     Apa itu lafal yang tidak jelas maknanya (ghairu wadhih ad-dalalah)?
4.     Apa saja macam-macam lafal yang tidak jelas maknanya (ghairu wadhih ad-dalalah)?
C.    Tujuan
1.     Untuk mengetahui lafal yang jelas maknanya (wadhih ad-dalalah).
2.     Untuk mengetahui bagian-bagian dalam lafal yang jelas maknanya (wadhih ad-dalalah).
3.     Untuk mengetahui lafal yang tidak jelas maknanya (ghairu wadhih ad-dalalah).
4.     Untuk mengetahui bagian-bagian dalam lafal yang tidak jelas maknanya (ghairu wadhih ad-dalalah).
BAB II
PEMBAHASAN 
A.    Lafal yang Jelas Maknanya
Lafal yang jelas maknanya (wadhih ad-dalalah) adalah suatu lafal yang menunjukkan suatu pengertian berdasarkan shigaht lafal itu sendiri, tanpa ketergantungan pada sesuatu yang bersifat khariji (eksternal) untuk menjelaskannya. Lafal itu sudah dapat dipahami maknanya tanpa bantuan penjelasan lain, sehingga taklif yang dikehendaki dalam lafal itu dapat dilaksanakan.[1]Wadhih ad-dalalah adalah lafal yang menunjukkan makna melalui bentuk asalnya tanpa terikat faktor lain.[2] Lafal yang kehadiran petunjuknya untuk pengertian makna yang jelas, tidak memerlukan adanya takwil.[3]
B.    Bagian-Bagian Dalam Wadhih Ad-Dalalah
Bagian-bagian dalam wadhih ad-dalalahmenurutHanafiyah sebagai berikut.
1.     Nash
Secara terminologis, nash yaitu membuka (الكشف) dan menjelaskan (الظهور). Ulama ushul memberikan definisi nash yaitu:[4]
ما دل على معناه دلالة لا تحتمل التأويل
“Lafal yang menunjukkan artinya sebagai dalil yang tidak ada kemungkinan untuk ditakwil.
Contohnya terdapat dalam QS. Al-Baqarah (2): 275:
وَ أَحَلَّ اللهُ البَيعَ وَ حَرَّمَ الرِّبَواقلى
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang yang menganggapmya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut tanpa perlu ada bantuan penjelasan lain.
2.     Zhahir
Secara etimologis, zhahir yaitu sesuatu yang jelas (الواضح). Sedangkan secara terminologis, yaitu:[5]
ما احتمل معنيين هو في أحدهما أظهر
“Lafal yang memiliki dua kemungkinan makna, namun salah satu diantara keduanya lebih jelas.”
Menurut jumhur ulama ushul fikih, antara lain seperti dikemukakan Ibnu al-Subki (w. 771 H), ahli ushul fikih dari kalangan Syafi’iyah, berarti lafal yang menunjukkan suatu pengertian yang hanya sampai ke tingkat Dhanni (dugaan keras). Artinya, yang dimaksud dengan zhahir dari suatu lafal adalah makna yang cepat ditangkap dari mendengarkan lafal itu, namun masih ada sedikit kebolehjadian pengertian lain selain pengertian yang telah ditangkap.

Contohnya terdapat pada QS. Adz Dzariyat: 47:
وَالسَّمَآءَ بَنَينَا هَا بِأَيدٍ
”Dan Kami telah membangun langit dengan tangan-tangan.”
Zhahir perkataan tangan adalah anggota yang terkenal, dan bisa menerima makna lain, yaitu kekuasaan. Makna tersirat itu baru boleh difungsikan bilamana didukung oleh dalil seperti akan dijelaskan nanti dalam pembahasan takwil. Menurut ulama ushul fikih, kaidah yang berlaku disini adalah setiap lafal zhahir harus dipegang makna zhahir-nya itu selama tidak ada petunjuk bahwa maksud pembicaraan adalah makna yang tersembunyi.[6]
3.     Mufassar
Secara terminologis, mufassar yaitu:[7]
ما دل بنفسه على معناه المفصل تفصيلا لا يبقى معه احتمال للتأويل
“Suatu lafal yang menunjukkan dengan sendirinya makna yang terinci, yang tidak mungkin ditakwil.”
Kejelasan lafal mufassar ini ada kalanya disebabkan lafal itu sendiri yang telah menuntaskan penjelasannya. Misalnya, dalam suatu lafal telah ada penjelasan berupa jumlah tertentu, yang tidak mungkin lagi ditambah atau dikurangi.[8]
Contohnya terdapat dalam firman Allah QS. An-Nur (24): 4:
وَالَّذِينَ يَرمُونَ المُحصَنَتِ ثُمَّ لَم يَأْتُوا بِأَربَعَةِ شُهَدَآءَ فَاْجْلِدُ ثَمَنِينَ جَلدَةً
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbiat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera...”
Kalimat “delapan puluh kali dera” merupakan lafal yang mufassar, karena merupakan jumlah tertentu, tak lebih dan tak kurang.
4.     Muhkam
Secara terminologis, muhkam yaitu:[9]
ما دل على معناه الذي لا يقبل ابطالا ولا تبديلا بنفسه دلاله واضحة لا يبقى معها احتمال للتأويل
“Suatu lafal yang menunjukkan atas maknanya yang tidak mungkin menerima pembatalan, pergantian dan takwil, karena dalilnya telah jelas dengan sendirinya.”
Contohnya terdapat dalam QS. An-Nur (24): 24:
وَلَا تَقبَلُواْ لَهُم شَهَدَةً أَبَدًا
“Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Kata “أَبَدًا” (selama-lamanya) yang tersebut dalam ayat di atas menunjukkan bahwa tidak diterima kesaksiannya itu berlaku untuk selama-lamanya, dalam arti tidak dapat dicabut.
Contoh lain, misal hadis Rasulullah Saw., berikut.
الجهاد ماض إلى يوم القيامة
“Jihad itu berlaku sampai hari kiamat.”
Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya pembatalan dari segi waktu.
C.    Lafal yang Tidak Jelas Maknanya
Lafal yang tidak jelas maknanya (ghairu wadhih ad-dalalah) adalah suatu lafal yang maknanya masih samar sehingga belum bisa dipahami. Kesamaran itu timbul dari lafal itu sendiri atau sesuatu di luar lafal itu. Akibatnya lafal semacam ini tidak bisa diamalkan begitu saja, ia membutuhkan penjelasan lain agar pengertiannya menjadi jelas dan dapat dipahami.[10] Dalam pengertian lain, ghairu wadhih ad-dalalah adalah lafal yang maknanya baru ditemui melalui petunjuk dari luar lafal itu.
D.    Bagian-Bagian Dalam Ghairu Wadhih ad-Dalalah
Bagian-bagian dalam ghairu wadhih ad-dalalah sebagai berikut.
1.       Khafi
Secara terminologis, khafi yaitu:[11]
اللفظ الذي يدل معناه دلالة ظاهرة، ولكن في انتباق معناه على بعض الأفراد نوع غمود وخفاء تحتاج إزالته إلى نظر وتأمل
“Lafal yang menunjukkan maknanya sebagai dalil yang jelas, tetapi dalam praktik maknanya atas sebagian satuan mengandung kesamaan yang membutuhkan kepada analisa dan pemikiran.”
Lafal khafi jelas, namun dalam berbagai kasus timbul kesamaran. Kesamaran ini muncul karena adanya kasus-kasus yang mempunyai suatu nama khusus yang berlainan dengan yang disebutkan dengan lafalnya. Tambahan, kekurangan, atau penamaan yang berbeda menyebabkan kesamaran dan keserupaan.[12]
Contohnya terdapat dalam QS. al-Maidah (5): 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَقطَعُوا أيدِيَهُمَا.....
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya....”
Lafal “السَّارِقُ” itu sendiri sebenarnya cukup jelas, yaitu ‘orang yang mengambil harta yang bernilai milik orang lain dari tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi’. Penerapan hukuman terhadap pencuri dengan arti tersebut juga jelas. Namun lafal “السَّارِقُ” itu mempunyai satuan arti (afrad) banyak, yakni pencopet, perampok, pencuri, dan lain sebagainya yang mempunyai kelebihan sifat atau kekurangan sifat dibandingkan pencuri dalam arti di atas. Apakah sanksi potong tangan diperlakukan terdapat semua satuan arti itu. Di sinilah timbul kesamaran tersebut.
Selanjutnya cara untuk menghilangkan kesamaran lafal yang khafi adalah pembahasan, pengkajian yang serius guna mengungkapkan maksud-maksud umum dan khusus yang menjadi landasan hukum. Cara tersebut dapat memperluas jangkauan dalalah hukum. Cara tersebut dapat memperluas dalalah lafal atau mempersempit dengan mengacu ‘illat atau alasan hukum yang terdapat di dalamnya. Bagaimana juga tinjauan yang lebih luas tentang kemaslahatan umum haruslah menjadi bahan pertimbangan seorang pengkaji dan peneliti di bidang ini, di samping kemaslahatan yang bersifat khusus.[13]
2.       Musykil
Secaraterminologis, musykil yaitu:[14]
اللفظ الذي لا تدل صيغته بنفسها على المراد منه، ولا توجد قرائن خارجية تبين ما يراد منه،
“Bentuk lafal yang tidak menunjukkan kepada maksudnya, tetapi dapat diketahui melalui qarinah (indikasi) luar yang menjelaskan maksudnya.”
Beda antara khafi dan musykil: kesamaran pada musykil datang dari lafal itu sendiri, sedangkan kesamaran pada khafi datang dari luar lafal, sementara lafalnya sendiri jelas tanpa perlu bantuan qarinah, atau dalil lain.[15]
Sebab kemusykilan lafal musykil adalah keberadaan lafal itu sebagai musytarak, yaitu lafal yang menunjukkan dua makna atau lebih secara bergantian, tanpa ada penunjukkan pada salah satu makna tertentu. Selanjutnya, untuk mengetahui maksudnya diperlukan adanya dalil berupa qarinah yang terdapat pada susunan kalimatnya, atau dalil lain di luar lafal itu.[16]

Contohnya dalam QS. al-Baqarah (2): 228:
وَالمُطَلَّقَتُ يَتَرَبَّصنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَثَةَ قُرُوءٍج
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.”
Lafal “قُرُوءٍ” pada ayat di atas mempunyai makna ganda, yaitu haid dan suci. Adanya arti ganda itu menghasilkan hukum yang berbeda, karena lafal tersebut lafal musykil.
3.       Mujmal
Secara etimologis mujmal yaitu  والموع المبهم (sesuatu yang tidak jelas dan menggabungkan). Sedangkan secara terminologis, mujmal yaitu:[17]
ما يتوقف فهم المراد منه على غيره, إما في تعيينه أو بيان صفته أو مقداره
“Lafal yang tidak diketahui maksudnya kecuali dengan bantuan lafal lain. Terkadang dari aspek ketentuannya, sifatnya, atau kadarnya.”
Menurut Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H) mujmal berarti lafal yang tidak jelas pengertiannya sehingga nuk memahaminya memerlukan penjelasan dari luar al-Bayan.
Al-Bazdawi dalam kitab Ushul Fiqh nya mendefinisikan bahwa mujmal, ialah ungkapan yang di dalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana yang dimaksud diantara makna-makna tersebut tidak jelas (kabur). Artinya, apa yang dimaksudtidakbisadiketahuibegitusajadariungkapanitusendiri, tapiharusditafsiri, diteliti, dandipikirsecaramendalam.
Dari siniterlihatdengan jelas perbedaan mujmal dengan musykil, dan khafi, yakni mujmal tidal mungkin diketahui rinciannya dari lafalnya sendiri atau melalui penafsiran ijtihad fikih semata.[18]

Contohnya, firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 43:
وَ أَقِيمُوا الصَّلَوةَ وَءَاتُواالزَّكَوةَ وَرْكَعُوا مَعَ الرَّكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
Perintah shalat diatas masih bersifat mujmal, karena tidak dijelaskan bagaimana tata cara dan sifat shalat. Dan perintah zakat masih bersifat mujmal, karena tidak dijelaskan kadarnya.
4.       Mutasyabih
Secara terminologis, mutasyabih yaitu:[19]
اللفظ الذي لا تدل صيغته بنفسها على المراد منه، ولا توجد قرائن خارجية تبينه، واستأثر الشارع بعلمه فلم يفسره
“Lafal yang tidak ditunjukkan oleh lafalnya itu sendiri kepada maksudnya itu, dan tidak terdapat indikasi luar yang menerangkannya, hanya Allah yang mengetahuinya dan lafal tersebut tidak bisa diinterpretasikan.”
Lafalmutasyabihmerupakanlafal yang samasekalitidak diketahui maknanya dan tidak ada jalan bagi pemikiran ulama untuk mengetahuinya. Lafal semacam ini hanya Allah lah yang mengetahui artinya, misalnya potongan huruf yang terdapat pada awal surat Alquran dan tidak ada penjelasan yang menafsirkannya sama sekali, baik dari Alquran maupun Sunah Nabi. [20]

Bentukmutasyabihituadaduabentuk, yaitu:[21]
a.      Dalambentukpotonganhurufhijaiyah  yangterdapatpadapembukaanbeberapa surah dalamAlquran.Contohnyaterdapatdalam surah Al-Baqarah (2) : 1
الم
“Aliflaammiim.”
Aliflaammiim,merupakanayatmutasyabih, tidakdiketahuiapamaksudnyadantidakbisaditafsirkan, karena yang tahumaksudnyahanyalah Allah SWT.
b.     Ayat-ayat yang secarazahirnyaAllah Swt, denganmakhluk-Nya.
Misalnyadalam surah ar-Rahman (55) : 27
وَيَبقَى وَجهُ رَبِّكَ ذُو الجَلَلِ وَالإِكرَمِ
Dan tetapkekalwajahTuhanmuyang mempunyaikebesarandankemuliaan.”
Ketidak jelasan lafal mutasyabih ini adalah karena shighat nya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya; sedangkan syari’ membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini, akal (daya nalar) manusia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan  kekurangmampuan manusia.[22]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.     Lafal yang jelas maknanya (wadhih ad-dalalah) adalah suatu lafal yang menunjukkan suatu pengertian berdasarkan shigaht lafal itu sendiri, tanpa ketergantungan pada sesuatu yang bersifat khariji (eksternal) untuk menjelaskannya. Lafal itu sudah dapat dipahami maknanya tanpa bantuan penjelasan lain, sehingga taklif yang dikehendaki dalam lafal itu dapat dilaksanakan.
2.     Bagian-bagian wadhih ad-dalalahadalah:
a.      Nash
b.     Zhahir
c.      Mufassar
d.     Muhkam
3.     Lafal yang tidak jelas maknanya (ghairu wadhih ad-dalalah) adalah suatu lafal yang maknanya masih samar sehingga belum bisa dipahami. Kesamaran itu timbul dari lafal itu sendiri atau sesuatu di luar lafal itu. Akibatnya lafal semacam ini tidak bisa diamalkan begitu saja, ia membutuhkan penjelasan lain agar pengertiannya menjadi jelas dan dapat dipahami.
4.     Bagian-bagian ghairu wadhih ad-dalalah adalah:
a.        Khafi
b.       Musykil
c.        Mujmal
d.       Mutasyabih




DAFTAR PUSTAKA

A Mubarok.Metode Istinbath Hukum.(Semarang: UIN Walisongo, 2015)
Al-Utsaimin, Muhammad bin Sholeh.Al-Ushul min Ilmi al-Ushul.(Beirut: Dar al-Fikr, Tth)
As-Sulmi, Iyad bin Nami.Ushul al-Fiqh Alladzi la yasi’u al faqiha juhlahu. (Riyad: Dar al-Fikr, Tth)
Hasbiyallah. Fiqh dan Ushul Fiqh; Metode Istinbath dan Istidlal.(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013)
Khallaf,Abdul Wahhab.Ilmu Ushul Fiqh. (Jakarta, Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Syahab al-Ahzar, 1990)
M. Zein, Satria Efendi.Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2008, cet ke-II)
Mardani. Ushul Fiqh.(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013)
Sanusi, AhmaddanSohari. Ushul Fiqih. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015)
Umam, Chaerul danAchyar Aminudin.Ushul Fiqih II. (Bandung: Pustaka Setia, 1998)






[1]Dr. H. Ahmad Sanusi, M.A. - Dr. Sohari, M.H., M.M., Ushul Fiqih, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hlm. 157.
[2]A Mubarok, Metode Istinbath Hukum, (Semarang: UIN Walisongo, 2015), hlm. 43.
[3]Drs. Chaerul Umam – Drs. H.A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 11.
[4]Iyad bin Nami As-Sulmi, Ushul al-Fiqh Alladzi la yasi’u al faqiha juhlahu, (Riyad: Dar al-Fikr, Tth), hlm. 266.
[5]Ibid.
[6]Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008, cet ke-II), hlm. 221.
[7]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta, Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Syahab al-Ahzar, 1990), hlm. 166.
[8]Dr. H. Ahmad Sanusi, M.A. - Dr. Sohari, M.H., M.M., loc. cit., hlm. 165.
[9]Abdul Wahhab Khallaf,  loc. cit., hlm. 168.
[10]Dr. H. Ahmad Sanusi, M.A. - Dr. Sohari, M.H., M.M., loc. cit., hlm. 158.
[11]Abdul Wahhab Khallaf, loc. cit., hlm. 170.
[12]Dr. H. Ahmad Sanusi, M.A. - Dr. Sohari, M.H., M.M., loc. cit., hlm. 174.
[13]Ibid., hlm. 176.
[14]Dr. Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 328.
[15]Dr. H. Ahmad Sanusi, M.A. - Dr. Sohari, M.H., M.M., loc. cit., hlm. 177.
[16]Ibid.
[17]Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, Al-Ushul min Ilmi al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, Tth), hlm. 324.
[18]Dr. Hasbiyallah, M. Ag., Fiqh dan Ushul Fiqh; Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 55.
[19]Abdul Wahhab Khallaf, loc. cit., hlm. 175.
[20]Dr. H. Ahmad Sanusi, M.A. - Dr. Sohari, M.H., M.M., loc. cit., hlm. 181.
[21]Dr. Mardani, loc. cit., hlm. 328.
[22]Dr. Hasbiyallah, M. Ag.,loc. cit., hlm. 57.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

STUDI ISLAM KAWASAN

METODE IJTIHAD: IJMA’ DAN QIYAS