METODE IJTIHAD: IJMA’ DAN QIYAS
METODE IJTIHAD:
IJMA’ DAN QIYAS
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul
Fiqih
Dosen Pengampu Masturi, Lc., M.Pd.
Disusun Oleh:
KELOMPOK 5
1.
Ayu Nailuz Zulfa (1710610057)
2.
Lailatul Nikmah (1710610058)
3.
Faidatun Islamiyah (1710610059)
PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN AKADEMIK 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sumber hukum islam diantaranya yaitu Al-Quran, Hadis, ijma’ dan
qiyas. Ijma’ dan qiyas merupakan salah satu metode ijtihad. Ijtihad sendiri
adalah aktivitas yang dilakukan ahli fiqih untuk memperoleh hukum dzonni. Pada
masa Rasulullah SAW muncul berbagai masalah, dan cara untuk menangani masalah
tersebut adalah melalui sumber hukum islam yaitu Al-Quran dan Hadis. Dan
apabila ada suatu hukum yang sekiranya kuarang dimengerti oleh para sahabat
maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah SAW. Akan
tetapi, setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam
memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan
di dalam Al-Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu muncullah ijma’ dan qiyas.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian ijma’ dan qiyas?
2.
Apa saja macam-macam ijma’ dan qiyas?
3.
Apa saja syarat ijma’ dan qiyas?
4.
Apa saja rukun ijma’ dan qiyas?
5.
Bagaimana kehujjahan ijma’ dan qiyas?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian ijma’ dan qiyas.
2.
Untuk mengetahui macam-macam ijma’ dan qiyas.
3.
Untuk mengetahui syarat ijma’ dan qiyas.
4.
Untuk mengetahui rukun ijma’ dan qiyas.
5.
Untuk menjelaskan bagaimana
kehujjahan ijma’ dan qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ijma’ dan qiyas
Ijma’ adalah kata benda
verbal (masdar) dari kata arab ajma’a, yang mempunyai dua makna;
memutuskan dan menyepakati sesuatu.[1]
Adapun pengertian ijma’ secara terminology, ada beberapa rumusan ijma’ yang
dikemukakan ulama ushul fiqih, Ibrahim Ibn Siyar Al Nazzam, seorang tokoh
mu’tazilah, merumuskan ijma’ dengan setiap pendapat yang didukung oleh hujjah,
sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang. Imam Al Ghazali merumuskan
ijma’ dengan “kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah
agama.” Rumusan Al Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus
dilakukan umat Muhammad SAW, yaitu seluruh umat Islam, termasuk orang awam. Al
Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa berijma’ harus dilakukan
setelah wafatnya Rasulullah SAW. Alasannya, karena pada masa Rasulullah, ijma’
tidak diperlukan, sebab keberadaan Rasulullah SAW. sebagai syari’. (Penentu
atau pembuat hukum) tidak memerlukan ijma’.[2]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ijma’ adalah kesepakatan
para ulama mujtahid atas hukum suatu masalah setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ijma’
telah menjadi kesepakatan para ulama’ dan tidak menyalahi al-qur’an dan hadis.[3]
Secara harfiyah qiyas
bermakna mengukur atau memastikan panjang, berat atau kualitas sesuatu. Qiyas
juga bermakna perbandingan, dalam rangka memberi kesan kesamaan atau kemiripan
antara dua hal.[4]
Menurut bahasa qiyas adalah mengukur sesuatau kepada sesuatu yang lain agar
diketahui persamaannya. Menurut istilah qiyas adalah menyamakan cabang pada
asalnya karena ada illat atau alasan yang mengumpulkannya dalam hukum.[5]
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan
sesuatu yang ada nash hukumya karena ada persamaan illat. Dengan demikian qiyas
diartikan mengukurkan sesuatu atas yang lain, agar dikatahui persamaan antara
keduanya.[6]
B.
Macam-macam Ijma’ dan Qiyas
Macam-macam ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam,
yaitu:
1.
Ijma’ sharih
Ijma’ sharih
adalah ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan
pendapatnya masing-masing tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik
melalui ucapan ataupun tulisan, kemudian mereka menyepakati salah satunya.
Maksudnya, semua
mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah
satunya.
Hal itu biasa terjadi
bila semua mujtahid berkumpul di suatu tempat kemudian masing-masing
mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya.
Setelah itu, mereka menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka
keluarkan tersebut.
Selain itu, bisa juga
pada suatu masa timbul suatu kejadian kemudian seorang mujtahid memberikan
fatwa tentang kejadian itu. Mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya mujtahid
pertama. Dan mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah difatwakan tersebut,
begitu seterusnya sehingga semua mujtahid menyepakati pendapat tersebut.
2.
Ijma’ sukuti
Ijma’ sukuti adalah pendapat
sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya,
tapi mereka diam, tidak menyepakatinya ataupun menolak pendapat tersebut secara
jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria, diantaranya:
a.
Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya
kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya
kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian mujtahid, maka tidak dikatakan ijma’
sukuti, melainkan ijma’ sharih.
b.
Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai
untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk
mengemukakan pendapatnya.
c.
Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah
permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat dzonni.[7]
Qiyas dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1.
Qiyas aula, yaitu suatu qiyas illatnya mewajibkan adanya hukum dan
yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat
menyamakannya (mulhaq bih). Misalnya mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan
mengatakan “ah” kepadanya, yang tersebut dalam firman Allah:
..…
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ…..
Artinya:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah"” (QS. Al-Isra’:23)
Mengatakan
ah kepada ibu bapak dilarang karena illatnya ialah menyakitkan hati. Oleh
karena itu memukul kedua ibu bapak tentu lebih dilarang, sebab di samping
menyakitkan hati juga menyakitkan jasmaninya. Illat larangan yang terdapat pada
mulhaq (yang disamakan) lebih berat daripada yang terdapat pada mulhaq bih. Dengan
demikian, larangan memukul kedua orang tua lebih keras daripada mengatakan ah
kepadanya.
2.
Qiyas musawi, yaitu suatu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya
hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaqnya sama dengan illat hukum yang
terdapat pada mulha bih. Misalnya merusak harta benda anak yatim mempunyai
illat hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yaitu sama-sama
merusakkan harta. Sedang makan harta anak yatim diharamkan, sebagaiman
tercantum dalam firman Allah:
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, sebenarnya mereka itu
menelan api di dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyalanya (neraka).” (QS. An-Nisa’:10).
Maka merusak harta anak yatim adalah haram.Keharamannya karena di
qiyaskan pada memakan harta anak yatim.
3.
Qiyas dalalah, yakni suatu qiyas di mana illat yang ada pada mulhaq
menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan
harta milik anak kecil pada harta seorang dewasa dalam kewajibannya
mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang
mempunyai sifat dapat bertambah.
4.
Qiyas syibhi, yakni suatu qiyas di mana mulhaqnya dapat diqiyaskan
pada dua mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak
persamaannya dengan mulhaq. Misalnya, seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh
seseorang. Budak yang dirusakkan itu dapat diqiyaskan dengan orang merdeka
karena memang keduanya adalah sama-sama keturunan Adam dan dapat juga
diqiyaskan dengan harta benda, karena keduanya sama-sama dimiliki. Namun, budak
tersebut diqiyaskan dengan harta benda, yaitu sama-sama dapat diperjualbelikan,
dihadiahkan, diwariskan, dan sebagainya. Karena hamba sahaya tersebut
diqiyaskan dengan harta benda, maka hamba sahaya yang dirusakkan itu dapat
diganti dengan nilainya.[8]
C.
Syarat-syarat Ijma’ dan Qiyas
Ijma’ memiliki
beberapa syarat diantaranya yaitu:
1.
Para mujtahid (orang yang berijtihad) harus beragama Islam. Maka,
kesepakatan orang awam tidak dianggap ijma’. Begitu juga kesepakatan orang
Islam yang belum mencapai derajat mujtahid fiqih, meskipun mereka berasal dari
tokoh ulama dalam disiplin ilmu lain. Sebab, mereka tidak mempunyai kemampuan
untuk menalar dan mengambil dalil tentang hukum perkara-perkara syariat Islam.
Al-Asnawi berkata,
“Maka tidak dianggap ijma’ kesepakatan orang awam dan ulama yang berdisiplin
ilmu lain, karena kesepakatan mereka dalam hal ini tanpa dasar dan mereka
bukanlah termasuk orang-orang mengetahui dalilnya.”
Minimal jumlah
mujtahid yang dapat dibenarkan hasil ijma’nya adalah tiga orang. Demikian
menurut pendapat yang kuat. Jumlah tersebut merupakan jumlah minimal untuk suatu
kelompok. Karena itu, tidak bisa dikatakan terjadi ijma’, ketika dalam suatu
masa hanya ada dua orang mujtahid. Apalagi jika hanya seorang saja sebab
pendapatnya merupakan pendapat pribadi.
Sebagian ulama ada
yang mensyaratkan bahwa jumlah mujtahid harus mencapai batas mutawatir yaitu
lebih dari tiga, sehingga tidak mungkin mereka bersekongkol untuk bersepakat
dalam suatu kebatilan atau kedustaan.
2.
Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid, meskipun
Negara dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh seorang
mujtahid pun. Maka jika ada sebagian mereka yang berbeda pendapat dengan
pendapat mayoritas, meskipun seorang saja yang berbeda pendapat itu, maka tidak
bisa dikatakan ijma’.
3.
Hendaknya kesepakatan ituberasal dari seluruh ulama mujtahid yang
ada pada masa terjadinya masalah fiqhiyah dan pembahasan hukumnya. Oleh karena
itu, tidak disyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa
berikutnya, sebab jika tidak demikian, niscaya tidak mungkin terjadi ijma’,
meskipun datangnya hari kiamat.
Dan tidak
disyaratkan, dalam batalnya ijma’, karena wafatnya para mujtahid yang telah
bersepakat itu.Berlakunya ijma’ tidak terbatas pada masa hidup mereka saja. Dalam
hal itu ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ijma’ bisa batal jika seluruh
mujtahid yang bersepakat itu telah meninggal dunia, mengingat bolehnya sebagian
mereka mencabut pendapatnya ketika masih hidup.
4.
Kesepakatan para mujtahid itu hendaknya harus terjadi sesudah
Rasulullah SAW. wafat. Oleh karena itu, apabila para sahabat berepakat dalam
hukum suatu perkara, ketika Nabi SAW. masih hidup, maka kesepakatan mereka itu tidak bisa
dinamakan ijma’ syar’i.
5.
Kesepakatan itu hendaknya dinyatakan masing-masing mujtahid dengan
terang dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun
berkelompok dalam satu tempay, di mana sebelumnya juga terjadi perdebatan
mengenai masalah yang ada, tetapi berakhir dengan diperolehnya satu pendapat
yang bulat, dan masing-masing mereka menyatakan sepakat dan rela atas kesepakatan
tersebut.
6.
Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itu
benar-benar sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul tejadi
kebulatan pendapat atas suatu hukum.[9]
Syarat-syarat
qiyas:
Untuk menetapkan hukum suatu perkara
dengan qiyas yang belum ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadis harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Syarat-syarat ashl
a.
Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada hukum pokoknya.
Kalau tidak ada, hukum tersebut harus dimansukh maka tidak boleh ada pemindahan
hukum.
b.
Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara’ bukan hukum akal atau
bahasa.
c.
Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian, seperti sahnya
puasa orang lupa meskipun makan dan minum. Mestinya puasanya tidak rusak sebab
sesuatu tidak tetap ada apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya.
Namun puasanya tetap ada sebab ada hadis yang menjamin atas sahnya puasa itu.
2.
Syarat-syarat cabang
a.
Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok. Misalnya,
mengqiyaskan wudhu dengan tayamum dan wajibnya niat karena keduanya sama-sama taharah
(suci). Qiyas tersebut di atas tidak benar karena wudhu (dalam di atas sebagai
cabang) diadakan sebelum hijrah, sedangkan tayamum (dalam contoh di atas
sebagai pokok) diadakan sesudah hijrah. Bila qiyas tersebut dibenarkan, berarti
menetapkan hukum sebab ada illatnya.
b.
Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang menurut ulama
ushul berkata, apabila datang nash, qiyas menjadi batal.
c.
Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat yang
terdapat pada pokok.
d.
Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
3.
Syarat-syarat illat
Illat mempunyai
beberapa syarat sebagai berikut:
a.
Illat harus tetap berlaku, manakala ada illat, tentu ada hukum, dan
tidak ada hukum bila tidak ada illat.
b.
Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika
terdapatnya illat tanpa mengganggu sesuatu yang lain. Sebab adanya illat
tersebut adalah demi kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai illat
wajibnya qishas, juga seperti memabukkan seperti illat adanya haram
minum-minuman keras.
c.
Illat tidak berlawanan dengan nash, dan apabila berlawanan maka
nash yang didahulukan. Sebagaimana pendapat segolongan ulama bahwa perempuan
dapat memiliki dirinya, sebab diqiyaskan dengan bolehnya menjual harta bendanya.
Karena itu, perempuan tidak dapat melakukan pernikahan tanpa izin walinya qiyas
seperti ini berlawanan dengan nash hadis Nabi yang berbunyi:
لاَنِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدلٍ (رواه الترمذى وغيره)
Artinya:
“perempuan yang
menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya menjadi batal.” (HR. Tirmizi dan
lainnya)
d.
Illat harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu misalnya,
berpengaruhnya illat tersebut karena adanya hikmah yang dikehendaki syara’.
Berepergian misalnya, dijadikan illatnya mengqashar shalat karena qashar
tersebut mengandung hikmah, yaitu menghindari (mengurangi) kesukaran. Demikian
pula zina dijadikan sebagai illat hukum had karena adanya hikmah, yaitu menjaga
keturunan dari pencampuran darah.
Sesuatu yang tidak terang, tidak bisa dijadikan
illat, seperti ridha dalam perikatan, karena ridha adalah suatu hal yang samar,
maka perlu adanya serah terima sebagai gantinya. Demikian pula sesuatau yang
tidakn tertentu, seperti kesukaran maka tidak bisa menjadi illat mengqashar dan
keadaannya. Maka tidak dapat dijadikan illat untuk mengqasharkan sholat dalam
keadaan tidak berpergian meskipun boleh jadi kesukarannya lebih berat daripada
yang berpergian dalam beberapa hal.[10]
D.
Rukun Ijma’ dan Qiyas
a. Rukun Ijma’
Apabila
suatu masalah muncul dan meminta perhatian mujtahid umat Islam pada waktu
peristiwa itu terjadi, dan mereka mencapai kesepakatan bulat tentang
ketentuannya, maka berlakulan bahwa
ketentuan itu disepakati benar dan menjadi ketentuan otoritatif
syari’ah, asalkan memenuhi syarat berikut:
1. Bahwa terdapat sejumlah mujtahid pada
waktu peristiwa itu muncul. Konsesus tidak akan pernah terjadi kecuali apabila
terdapat pluralitas pendapat yang sama. Apabila ada suatu situasi ketika
pluralitas mujtahid tidak bisa diperoleh, atau hanya ketika ada seseorang
mujtahid dalam masyarkat, maka tidak ada ijma’ yang dibayangkan benar-benar
terjadi.
2. Menurut jumhur ulama, kebulatan suara
merupakan prasyarat ijma’. Seluruh mujtahid, tanpa dibedakan suku, ras, warna
kulit dan mazhab mereka, harus mencapai konsesus pendapat hukum pada waktu
suatu masalah muncul. Adanya ketentuan yang berbeda, sekalipun hanya sebagian
kecil, mengenyampingkan kemungkinan terjadinya ijma’. Apabila, misalnya
mujtahid Mekkah dan Madinah atau Irak, atau mujtahid keluarga nabi, atau
ulama-ulama sunni, tanpa kespakatan dari ulama-ulama syi’ah, menyepakati suatu
ketentuan, maka tidak ada ijma’ yang terjadi.
3. Kesepakatn mujtahid harus ditunjukkan
oleh pendapat yang mereka kemukakan tehadap suatu masalah. Bisa secara lisan
atau bisa pula secara tertulis, seperti dengan fatwa, atau mungkin memang,
misalnya, seorang hakim memutuskan suatu maslah atau setiap mujtahid
mengmukakan suatu pendapat dan setelah terhimpun berbagai pendapat, mereka
kemudian bersepakat. Demikian juga, mujtahid melontarkan pendapat mereka secara
bersama-sama, ketika misalnya, mujtahid dunia Islam berkumpul untuk
membicarakan suatu masalah dan mencapai konsesus tentang ketentuannya.
4. Sebagai akibat wajar dari syarat kedua
di atas, ijma’ terdiri kesepakatan seluruh mujtahid dan tidak hanya mayoritas
di antara mereka. Sepanjang ada pendapat yang berbeda, maka kemungkinan ada
yang salah, dan tidak ada ijma’ yang bisa terbayangkan pada situasi seperti
itu, karena ijma’ merupakan dalil yang kuat yang harus ditemukan secara pasti.
Namun demikian menurut Ibn Jarir al Tabari, Abu Bakr al Razi, salah satu dari
dua pendapat Ahmad b. Hanbal dan Shah Wali Allah, ijma’ bisa dicapai dengan
pendapat mayoritas. Tetapi, dalam soal ini al-Amidi memilih pendapat jumhur
yang mengharuskan keikutsertaan seluruh mujtahid.[11]
b. Rukun Qiyas
1. Ashal, yang berarti pokok, yaitu sesuatu yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash. Ashal disebut juga maqiis ‘alaih (yang disamai) atau
musyabbah bih.
2. Fara’ yang berarti cabang, yaitu sesuatu
yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan
sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqiis (yang menyamai) atau musyabbah.
3. Hukum asal, yaitu hukum dari ashal yang
telah ditetapkan berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada
fara’ seandainya ada persamaan illat.
4. Illat (alasan yang mengumpulkan dalam
hukum) yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada
fara’, maka persamaan sifat itu yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’
sama dengan hukum ashal.
Contoh
seperti sabu-sabu disamakan dengan khomr dalam keharamannya karena alasan
memabukkan / menghilangkan kesadaran dan merusak tubuh.
Sabu-sabu
disebut maqiis, khomr disebut maqiis alaih, haram disebut hukum asal, dan
memabukkan disebut ilat / alasan, sehingga diperoleh hukum qiyas yaitu bahwa
sabu-sabu haram hukumnya.[12]
E.
Kehujjahan Ijma’ dan Qiyas
Kehujjahan Ijma'
1.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa ijma' adalah hujjah yang wajib
diamalkan, dengan alasan :
Firman Allah surah
An-Nisa' ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Artinya:
"Hai orang beriman!
taatilah Allah, taatilah Rasul, dan Ulil Amri kamu. Maka jika kamu berselisih dengan sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul." (QS An- Nisa':59)
Berdasarkan
pendapat Abdullah bin Abbas, yang menafsirkan Ulil Amri itu dengan ulama, maka menaati apa yang
diijma'kan adalah wajib. Terhadap tafsiran ini sebenarnya
telah difirmankan Allah dalam surah An-Nisa': 83.
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ
مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
Artinya:
"Dan jikalau mereka
mengembalikannya kepada Rasul dan kepada Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) ...." (QS An-Nisa':83)
Kemudian
diiringi dengan ayat yang memerintahkan pengembalian urusan yang
diperselisihkan kepada Allah dan Rasul.Pengertiannya bahwa pendapat yang
disepakati Ulil Amri itu adalah benar.
2.
Al Nazham, sebagian Mu'tazilah dan Syiah berpendapat bahwa Ijma'
bukan hujjah, dengan alasan:
a)
Setiap individu mujtahid itu mungkin saja bersalah dan hal ini bisa
juga terjadi dalam jama’ah mereka. Penggabungan satu sama lainnya yang mungkin
tersalah itu tidak mustahil memungkinkan mereka menjadi salah juga.
b)
Firman Allah yang memerintahkan taat kepada Allah, Rasul dan Ulil
Amri itu menunjukkan bahwa adanya perintah pengembalian urusan yang
disengketakan kepada Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Karena itu jika fuqaha
generasi terdahulu Ijma' tentang suatu urusan lalu ditentang oleh fuqaha
generasi sesudahnya, maka wajib mengembalikan permasalahannya kepada Kitabullah
dan Sunah Rasul-Nya. Oleh karena itu, ijma' generasi terdahulu itu, tidak
menjadi hujjah terhadap generasi sesudahnya. Karena itu pula argumentasi jumhur
tentang kehujjahan ijma' dengan ini dan bahwa kesepakatan itu tidak perlu
kembali pada kitab dan sunah adalah tidak benar karena adakalanya kesepakatan
mujtahid itu terjadi dalam hukum yang mereka perselisihkan sehingga mau tidak
mau harus dikembalikan kepada Kitab dan Sunah.
c)
Mu'az bin Jabal ketika diutus Rasulullah ke Yaman tidak menyebutkan
ijma' diantara dalil-dalil tempat rujuknya dalam memutuskan hukum, sementara
pernyataan Mu'az itu diakui oleh Rasul. Yang demikian menunjukkan bahwa ijma'
bukan menjadi hujjah.
Selanjutnya, mereka menolak
semua argumentasi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama,
dengan alasan sebagai berikut:
Semua hadits yang dipegang oleh
Jumhur itu adalah hadits ahad yang tidak menghasilkan keyakinan tentang
kehujjahan ijma'. Sekiranya diterima atas dasar mutawatir maknanya, maka ia
ditempatkan untuk terpeliharanya umat dari kesalahan dan kesesatan dalam
menyepakati kekufuran dan menyalahi dalil qath'i saja. Hal ini mengingat bahwa
terdapat hadits Nabi yang menunjukkan bahwa kesalahan itu bisa terjadi dalam
umat, yaitu sabda Nabi SAW.:
اِنَّاللهَ لَايَقبِضُ العِلمَ اِنتِزَاعًا
يَنتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ وَلَكِن يَقبِضُ العِلمَ بِقَبضِ العُلَمَاءِ حَتَّى
اذالم يبق عالم التخذ الناس رءوساء جهالاء فالسئلوا فافتوا بغيرعلم فضلوا واضلوا
(رواه البخاري ومسلم)
Artinya:
"Sungguh
Allah tidak mencabut ilmu itu dengan mencabutnya dari para hamba, tetapi Ia
mencabut melalui kematian Ulama, sehingga bila tidak ada lagi orang alim, maka
manusia pun mengangkat orang jahil menjadi pemimpinnya. Mereka bertanya dan si
pemimpin pun memberi fatwa tanpa pengetahuan, yang akibatnya mereka menjadi
sesat dan si pemimpin merupakan pembuat (pokok pangkal timbulnya)
kesesatan." (HR Bukhari dan Muslim)
Sebenarnya, semua dalil/argumentasi
Jumhur tentang kehujjahan ijma' tidak satupun yang qath'i dilalahnya, karena
baik ayat maupun hadits tidak qath'i dilalahnya terhadap kehujjahan ijma' dan
tidak pula secara tegas tentang itu.
As-Syaukani berkomentar bahwa suatu
keanehan dikalangan fuqaha bila mereka menetapkan kehujjahan ijma' dengan
keumuman (zhanni) ayat dan hadits, lalu mereka ijma' bahwa orang yang
mengingkari terhadap apa yang dicakup keumuman tersebut tidak kafir dan tidak
pula fasik bilamana keingkaran itu mempunyai ta'wil. Kemudian mereka mengatakan
bahwa hukum yang disimpulkan ijma' adalah qath'i yang mengakibatkan kafir dan
fasiknya orang yang menyalahi ijma' itu.Seolah-olah mereka menempatkan yang
cabang lebih utama daripada pokok.[13]
Kehujjahan
Qiyas
Para Ulama berbeda
pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan qiyas. Dalam hal ini ada beberapa
pendapat diantaranya:
1.
Jumhur ulama ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil
istinbat hukum-hukum syara'/agama.
Alasan mereka adalah :
Firman
Allah SWT dalam QS. Al Hasyr:2
….فَاعْتَبِرُوا
يَا أُولِي الأبْصَارِ….
Artinya
:
"Maka ambillah (kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS. Al
Hasyr:2)
I'tibar dalam ayat ini berasal dari kata ubur yang artinya melewati
atau melampaui. Sebab memang qiyas ialah melewati/melampaui dari hukum ashl
(pokok) kepada hukum cabang (furu'). Jadi qiyas termasuk ke dalam ayat
tersebut.
2.
Sebagian ulama Syi'ah dan segolongan dari ulama Mu'tazilah seperti
An-Nazzam juga ulama-ulama dzaririyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah.
3.
Al Quffalusysyasyi dari golongan Syafi'iyah dan Abdul Hasan
A-Bashri dari golongan Mu'tazilah. Keduanya berpendapat bahwa penetapan hukum
melalui qiyas wajib kita lakukan baik secara agama maupun secara syari'at.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijma’ adalah
kata benda verbal (masdar) dari kata arab ajma’a, yang mempunyai dua
makna; memutuskan dan menyepakati sesuatu. Secara istilah ijma’ adalah
kesepakatan para ulama mujtahid atas hukum suatu masalah setelah wafatnya
Rasulullah SAW.
Menurut bahasa
qiyas adalah mengukur sesuatau kepada sesuatu yang lain agar diketahui
persamaannya. Menurut istilah qiyas adalah menyamakan cabang pada asalnya
karena ada illat atau alasan yang mengumpulkannya dalam hukum.
Macam-macam ijma’: 1. Ijma’ sharih 2.
Ijma’ sukuti
Macam-macam qiyas: 1. Qiyas aula 2.
Qiyas musawi
3. Qiyas dalalah 4. Qiyas syibhi
Syarat-syarat ijma’:
1.
Kesepakatan para mujtahid Islam.
2.
Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid.
3.
Hendaknya kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang
ada pada masa terjadinya masalah
fiqhiyah dan pembahasan hukumnya.
4.
Kesepakatan para mujtahid itu hendaknya harus terjadi sesudah
Rasulullah SAW. wafat.
Syarat-syarat qiyas:
1.
Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada hukum pokoknya.
2.
Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok.
3.
Illat harus tetap berlaku, manakala ada illat, tentu ada hukum, dan
tidak ada hukum bila tidak ada illat.
Rukun Ijma’
Apabila
suatu masalah muncul dan meminta perhatian mujtahid umat Islam pada waktu
peristiwa itu terjadi, dan mereka mencapai kesepakatan bulat tentang
ketentuannya, maka berlakulan bahwa
ketentuan itu disepakati benar dan menjadi ketentuan otoritatif
syari’ah, apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
1. Ashal (yang disamai)
2. Fara’ (yang menyamai)
3. Hukum asal.
4. Ilat / alasan yang mengumpulkan dalam
hukum.
Kehujjahan Ijma'
1. Jumhur Ulama
berpendapat bahwa ijma' adalah hujjah yang wajib diamalkan
2. Al Nazham,
sebagian Mu'tazilah dan Syiah berpendapat bahwa Ijma' bukan hujjah
Kehujjahan Qiyas
1.
Jumhur ulama ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil istinbat
hukum-hukum syara'/agama.
2.
Sebagian ulama Syi'ah dan segolongan dari ulama Mu'tazilah tidak
mengakui qiyas sebagai hujjah.
3.
Al Quffalusysyasyi dari golongan Syafi'iyah dan Abdul Hasan
A-Bashri dari golongan Mu'tazilah. Keduanya berpendapat bahwa penetapan hukum
melalui qiyas wajib kita lakukan baik secara agama maupun secara syari'at
[1] Dr. Muhammad Hashim
Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, (Malaysia: Pustaka Pelajar,
Maret 1991), hlm. 219.
[2] Drs. Chaerul Umam,
dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, Oktober 2000), hlm.
74-75.
[3] Saeful Hadi, Ushul
Fiqih, (Yogyakarta: Sabda Media, April 2009), hlm. 99.
[4] Dr. Muhammad Hashim
Kamali, Op. Cit., hlm. 255.
[5] Saeful Hadi, Op.
Cit., hlm. 108.
[6] Drs. Chaerul Umam,
dkk, Op. Cit., hlm. 93.
[7] Prof. Dr. Rachmat
Syafe’I, Ilmu Usul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, Maret 2007), hlm.
72-73.
[8] Drs. Chaerul Umam,
dkk, Op. Cit., hlm. 99-103.
[9]Ibid., hlm. 75-78.
[10]Ibid., hlm. 96-99.
[11] Dr. Muhammad Hashim
Kamali, Op. Cit, hlm. 222-224.
[12]Saeful Hadi, Op.
Cit, hlm. 108-109.
[13] Drs. Chaerul Umam,
dkk, Op. Cit., hlm. 80-85.
[14]Ibid., hlm. 101-103.
Komentar
Posting Komentar