METODE IJTIHAD: IJMA’ DAN QIYAS


METODE IJTIHAD: IJMA’ DAN QIYAS
Makalah
 Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu Masturi, Lc., M.Pd.

Disusun Oleh:
KELOMPOK 5
1.     Ayu Nailuz Zulfa                 (1710610057)
2.     Lailatul Nikmah                  (1710610058)
3.     Faidatun Islamiyah              (1710610059)

 

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN AKADEMIK 2018

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Sumber hukum islam diantaranya yaitu Al-Quran, Hadis, ijma’ dan qiyas. Ijma’ dan qiyas merupakan salah satu metode ijtihad. Ijtihad sendiri adalah aktivitas yang dilakukan ahli fiqih untuk memperoleh hukum dzonni. Pada masa Rasulullah SAW muncul berbagai masalah, dan cara untuk menangani masalah tersebut adalah melalui sumber hukum islam yaitu Al-Quran dan Hadis. Dan apabila ada suatu hukum yang sekiranya kuarang dimengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah SAW. Akan tetapi, setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu muncullah ijma’ dan qiyas.
B.    Rumusan Masalah
1.     Apa pengertian ijma’ dan qiyas?
2.     Apa saja macam-macam ijma’ dan qiyas?
3.     Apa saja syarat ijma’ dan qiyas?
4.     Apa saja rukun ijma’ dan qiyas?
5.     Bagaimana kehujjahan ijma’ dan qiyas?
C.    Tujuan
1.     Untuk mengetahui pengertian ijma’ dan qiyas.
2.     Untuk mengetahui macam-macam ijma’ dan qiyas.
3.     Untuk mengetahui syarat ijma’ dan qiyas.
4.     Untuk mengetahui rukun ijma’ dan qiyas.
5.     Untuk  menjelaskan bagaimana kehujjahan ijma’ dan qiyas.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian ijma’ dan qiyas
      Ijma’ adalah kata benda verbal (masdar) dari kata arab ajma’a, yang mempunyai dua makna; memutuskan dan menyepakati sesuatu.[1] Adapun pengertian ijma’ secara terminology, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan ulama ushul fiqih, Ibrahim Ibn Siyar Al Nazzam, seorang tokoh mu’tazilah, merumuskan ijma’ dengan setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang. Imam Al Ghazali merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan Al Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW, yaitu seluruh umat Islam, termasuk orang awam. Al Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa berijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Alasannya, karena pada masa Rasulullah, ijma’ tidak diperlukan, sebab keberadaan Rasulullah SAW. sebagai syari’. (Penentu atau pembuat hukum) tidak memerlukan ijma’.[2] Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid atas hukum suatu masalah setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ijma’ telah menjadi kesepakatan para ulama’ dan tidak menyalahi al-qur’an dan hadis.[3]
      Secara harfiyah qiyas bermakna mengukur atau memastikan panjang, berat atau kualitas sesuatu. Qiyas juga bermakna perbandingan, dalam rangka memberi kesan kesamaan atau kemiripan antara dua hal.[4] Menurut bahasa qiyas adalah mengukur sesuatau kepada sesuatu yang lain agar diketahui persamaannya. Menurut istilah qiyas adalah menyamakan cabang pada asalnya karena ada illat atau alasan yang mengumpulkannya dalam hukum.[5] Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumya karena ada persamaan illat. Dengan demikian qiyas diartikan mengukurkan sesuatu atas yang lain, agar dikatahui persamaan antara keduanya.[6]
B.    Macam-macam Ijma’ dan Qiyas
Macam-macam ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu:
1.     Ijma’ sharih
             Ijma’ sharih adalah ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya masing-masing tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan ataupun tulisan, kemudian mereka menyepakati salah satunya.
      Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.
      Hal itu biasa terjadi bila semua mujtahid berkumpul di suatu tempat kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu, mereka menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarkan tersebut.
      Selain itu, bisa juga pada suatu masa timbul suatu kejadian kemudian seorang mujtahid memberikan fatwa tentang kejadian itu. Mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya mujtahid pertama. Dan mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah difatwakan tersebut, begitu seterusnya sehingga semua mujtahid menyepakati pendapat tersebut.
2.     Ijma’ sukuti
      Ijma’ sukuti adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakatinya ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria, diantaranya:
a.      Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian mujtahid, maka tidak dikatakan ijma’ sukuti, melainkan ijma’ sharih.
b.     Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
c.      Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat dzonni.[7]
Qiyas dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1.     Qiyas aula, yaitu suatu qiyas illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya (mulhaq bih). Misalnya mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ah” kepadanya, yang tersebut dalam firman Allah:
..… فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ…..
Artinya:
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"” (QS. Al-Isra’:23)
Mengatakan ah kepada ibu bapak dilarang karena illatnya ialah menyakitkan hati. Oleh karena itu memukul kedua ibu bapak tentu lebih dilarang, sebab di samping menyakitkan hati juga menyakitkan jasmaninya. Illat larangan yang terdapat pada mulhaq (yang disamakan) lebih berat daripada yang terdapat pada mulhaq bih. Dengan demikian, larangan memukul kedua orang tua lebih keras daripada mengatakan ah kepadanya.
2.     Qiyas musawi, yaitu suatu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaqnya sama dengan illat hukum yang terdapat pada mulha bih. Misalnya merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yaitu sama-sama merusakkan harta. Sedang makan harta anak yatim diharamkan, sebagaiman tercantum dalam firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api di dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyalanya (neraka).” (QS. An-Nisa’:10).
Maka merusak harta anak yatim adalah haram.Keharamannya karena di qiyaskan pada memakan harta anak yatim.
3.     Qiyas dalalah, yakni suatu qiyas di mana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta seorang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah.
4.     Qiyas syibhi, yakni suatu qiyas di mana mulhaqnya dapat diqiyaskan pada dua mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaannya dengan mulhaq. Misalnya, seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang. Budak yang dirusakkan itu dapat diqiyaskan dengan orang merdeka karena memang keduanya adalah sama-sama keturunan Adam dan dapat juga diqiyaskan dengan harta benda, karena keduanya sama-sama dimiliki. Namun, budak tersebut diqiyaskan dengan harta benda, yaitu sama-sama dapat diperjualbelikan, dihadiahkan, diwariskan, dan sebagainya. Karena hamba sahaya tersebut diqiyaskan dengan harta benda, maka hamba sahaya yang dirusakkan itu dapat diganti dengan nilainya.[8]
C.    Syarat-syarat Ijma’ dan Qiyas
Ijma’ memiliki beberapa syarat diantaranya yaitu:
1.     Para mujtahid (orang yang berijtihad) harus beragama Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak dianggap ijma’. Begitu juga kesepakatan orang Islam yang belum mencapai derajat mujtahid fiqih, meskipun mereka berasal dari tokoh ulama dalam disiplin ilmu lain. Sebab, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menalar dan mengambil dalil tentang hukum perkara-perkara syariat Islam.
            Al-Asnawi berkata, “Maka tidak dianggap ijma’ kesepakatan orang awam dan ulama yang berdisiplin ilmu lain, karena kesepakatan mereka dalam hal ini tanpa dasar dan mereka bukanlah termasuk orang-orang mengetahui dalilnya.”
            Minimal jumlah mujtahid yang dapat dibenarkan hasil ijma’nya adalah tiga orang. Demikian menurut pendapat yang kuat. Jumlah tersebut merupakan jumlah minimal untuk suatu kelompok. Karena itu, tidak bisa dikatakan terjadi ijma’, ketika dalam suatu masa hanya ada dua orang mujtahid. Apalagi jika hanya seorang saja sebab pendapatnya merupakan pendapat pribadi.
            Sebagian ulama ada yang mensyaratkan bahwa jumlah mujtahid harus mencapai batas mutawatir yaitu lebih dari tiga, sehingga tidak mungkin mereka bersekongkol untuk bersepakat dalam suatu kebatilan atau kedustaan.
2.     Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid, meskipun Negara dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh seorang mujtahid pun. Maka jika ada sebagian mereka yang berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas, meskipun seorang saja yang berbeda pendapat itu, maka tidak bisa dikatakan ijma’.
3.     Hendaknya kesepakatan ituberasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada pada masa terjadinya masalah fiqhiyah dan pembahasan hukumnya. Oleh karena itu, tidak disyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa berikutnya, sebab jika tidak demikian, niscaya tidak mungkin terjadi ijma’, meskipun datangnya hari kiamat.
            Dan tidak disyaratkan, dalam batalnya ijma’, karena wafatnya para mujtahid yang telah bersepakat itu.Berlakunya ijma’ tidak terbatas pada masa hidup mereka saja. Dalam hal itu ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ijma’ bisa batal jika seluruh mujtahid yang bersepakat itu telah meninggal dunia, mengingat bolehnya sebagian mereka mencabut pendapatnya ketika masih hidup.
4.     Kesepakatan para mujtahid itu hendaknya harus terjadi sesudah Rasulullah SAW. wafat. Oleh karena itu, apabila para sahabat berepakat dalam hukum suatu perkara, ketika Nabi SAW. masih hidup,  maka kesepakatan mereka itu tidak bisa dinamakan ijma’ syar’i.
5.     Kesepakatan itu hendaknya dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun berkelompok dalam satu tempay, di mana sebelumnya juga terjadi perdebatan mengenai masalah yang ada, tetapi berakhir dengan diperolehnya satu pendapat yang bulat, dan masing-masing mereka menyatakan sepakat dan rela atas kesepakatan tersebut.
6.     Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itu benar-benar sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul tejadi kebulatan pendapat atas suatu hukum.[9]
Syarat-syarat qiyas:
      Untuk menetapkan hukum suatu perkara dengan qiyas yang belum ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadis harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.     Syarat-syarat ashl
a.      Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada hukum pokoknya. Kalau tidak ada, hukum tersebut harus dimansukh maka tidak boleh ada pemindahan hukum.
b.     Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara’ bukan hukum akal atau bahasa.
c.      Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian, seperti sahnya puasa orang lupa meskipun makan dan minum. Mestinya puasanya tidak rusak sebab sesuatu tidak tetap ada apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya. Namun puasanya tetap ada sebab ada hadis yang menjamin atas sahnya puasa itu.
2.     Syarat-syarat cabang
a.      Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok. Misalnya, mengqiyaskan wudhu dengan tayamum dan wajibnya niat karena keduanya sama-sama taharah (suci). Qiyas tersebut di atas tidak benar karena wudhu (dalam di atas sebagai cabang) diadakan sebelum hijrah, sedangkan tayamum (dalam contoh di atas sebagai pokok) diadakan sesudah hijrah. Bila qiyas tersebut dibenarkan, berarti menetapkan hukum sebab ada illatnya.
b.     Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang menurut ulama ushul berkata, apabila datang nash, qiyas menjadi batal.
c.      Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat yang terdapat pada pokok.
d.     Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
3.     Syarat-syarat illat
Illat mempunyai beberapa syarat sebagai berikut:
a.      Illat harus tetap berlaku, manakala ada illat, tentu ada hukum, dan tidak ada hukum bila tidak ada illat.
b.     Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika terdapatnya illat tanpa mengganggu sesuatu yang lain. Sebab adanya illat tersebut adalah demi kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai illat wajibnya qishas, juga seperti memabukkan seperti illat adanya haram minum-minuman keras.
c.      Illat tidak berlawanan dengan nash, dan apabila berlawanan maka nash yang didahulukan. Sebagaimana pendapat segolongan ulama bahwa perempuan dapat memiliki dirinya, sebab diqiyaskan dengan bolehnya menjual harta bendanya. Karena itu, perempuan tidak dapat melakukan pernikahan tanpa izin walinya qiyas seperti ini berlawanan dengan nash hadis Nabi yang berbunyi:
لاَنِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدلٍ (رواه الترمذى وغيره)
Artinya:
“perempuan yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya menjadi batal.” (HR. Tirmizi dan lainnya)
d.     Illat harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu misalnya, berpengaruhnya illat tersebut karena adanya hikmah yang dikehendaki syara’. Berepergian misalnya, dijadikan illatnya mengqashar shalat karena qashar tersebut mengandung hikmah, yaitu menghindari (mengurangi) kesukaran. Demikian pula zina dijadikan sebagai illat hukum had karena adanya hikmah, yaitu menjaga keturunan dari pencampuran darah.
          Sesuatu yang tidak terang, tidak bisa dijadikan illat, seperti ridha dalam perikatan, karena ridha adalah suatu hal yang samar, maka perlu adanya serah terima sebagai gantinya. Demikian pula sesuatau yang tidakn tertentu, seperti kesukaran maka tidak bisa menjadi illat mengqashar dan keadaannya. Maka tidak dapat dijadikan illat untuk mengqasharkan sholat dalam keadaan tidak berpergian meskipun boleh jadi kesukarannya lebih berat daripada yang berpergian dalam beberapa hal.[10]
D.    Rukun Ijma’ dan Qiyas
a.      Rukun Ijma’
Apabila suatu masalah muncul dan meminta perhatian mujtahid umat Islam pada waktu peristiwa itu terjadi, dan mereka mencapai kesepakatan bulat tentang ketentuannya, maka berlakulan bahwa  ketentuan itu disepakati benar dan menjadi ketentuan otoritatif syari’ah, asalkan memenuhi syarat berikut:
1.     Bahwa terdapat sejumlah mujtahid pada waktu peristiwa itu muncul. Konsesus tidak akan pernah terjadi kecuali apabila terdapat pluralitas pendapat yang sama. Apabila ada suatu situasi ketika pluralitas mujtahid tidak bisa diperoleh, atau hanya ketika ada seseorang mujtahid dalam masyarkat, maka tidak ada ijma’ yang dibayangkan benar-benar terjadi.
2.     Menurut jumhur ulama, kebulatan suara merupakan prasyarat ijma’. Seluruh mujtahid, tanpa dibedakan suku, ras, warna kulit dan mazhab mereka, harus mencapai konsesus pendapat hukum pada waktu suatu masalah muncul. Adanya ketentuan yang berbeda, sekalipun hanya sebagian kecil, mengenyampingkan kemungkinan terjadinya ijma’. Apabila, misalnya mujtahid Mekkah dan Madinah atau Irak, atau mujtahid keluarga nabi, atau ulama-ulama sunni, tanpa kespakatan dari ulama-ulama syi’ah, menyepakati suatu ketentuan, maka tidak ada ijma’ yang terjadi.
3.     Kesepakatn mujtahid harus ditunjukkan oleh pendapat yang mereka kemukakan tehadap suatu masalah. Bisa secara lisan atau bisa pula secara tertulis, seperti dengan fatwa, atau mungkin memang, misalnya, seorang hakim memutuskan suatu maslah atau setiap mujtahid mengmukakan suatu pendapat dan setelah terhimpun berbagai pendapat, mereka kemudian bersepakat. Demikian juga, mujtahid melontarkan pendapat mereka secara bersama-sama, ketika misalnya, mujtahid dunia Islam berkumpul untuk membicarakan suatu masalah dan mencapai konsesus tentang ketentuannya.
4.     Sebagai akibat wajar dari syarat kedua di atas, ijma’ terdiri kesepakatan seluruh mujtahid dan tidak hanya mayoritas di antara mereka. Sepanjang ada pendapat yang berbeda, maka kemungkinan ada yang salah, dan tidak ada ijma’ yang bisa terbayangkan pada situasi seperti itu, karena ijma’ merupakan dalil yang kuat yang harus ditemukan secara pasti. Namun demikian menurut Ibn Jarir al Tabari, Abu Bakr al Razi, salah satu dari dua pendapat Ahmad b. Hanbal dan Shah Wali Allah, ijma’ bisa dicapai dengan pendapat mayoritas. Tetapi, dalam soal ini al-Amidi memilih pendapat jumhur yang mengharuskan keikutsertaan seluruh mujtahid.[11]
b.     Rukun Qiyas
1.     Ashal, yang berarti  pokok, yaitu sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Ashal disebut juga maqiis ‘alaih (yang disamai) atau musyabbah bih.
2.     Fara’ yang berarti cabang, yaitu sesuatu yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqiis (yang menyamai) atau musyabbah.
3.     Hukum asal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan illat.
4.     Illat (alasan yang mengumpulkan dalam hukum) yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’, maka persamaan sifat itu yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.
Contoh seperti sabu-sabu disamakan dengan khomr dalam keharamannya karena alasan memabukkan / menghilangkan kesadaran dan merusak tubuh.
Sabu-sabu disebut maqiis, khomr disebut maqiis alaih, haram disebut hukum asal, dan memabukkan disebut ilat / alasan, sehingga diperoleh hukum qiyas yaitu bahwa sabu-sabu haram hukumnya.[12]
E.    Kehujjahan Ijma’ dan Qiyas
      Kehujjahan Ijma'
1.     Jumhur Ulama berpendapat bahwa ijma' adalah hujjah yang wajib diamalkan, dengan alasan :
      Firman Allah surah An-Nisa' ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ    
      Artinya:
      "Hai orang beriman! taatilah Allah, taatilah Rasul, dan Ulil Amri kamu. Maka jika kamu         berselisih dengan sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul." (QS An-    Nisa':59)
                  Berdasarkan pendapat Abdullah bin Abbas, yang menafsirkan Ulil Amri itu       dengan ulama, maka menaati apa yang diijma'kan adalah wajib. Terhadap tafsiran ini sebenarnya telah difirmankan Allah dalam surah An-Nisa': 83.
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
Artinya:
      "Dan jikalau mereka mengembalikannya kepada Rasul dan kepada Ulil Amri diantara     mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)        mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) ...." (QS An-Nisa':83)
                  Kemudian diiringi dengan ayat yang memerintahkan pengembalian urusan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul.Pengertiannya bahwa pendapat yang disepakati Ulil Amri itu adalah benar.
2.     Al Nazham, sebagian Mu'tazilah dan Syiah berpendapat bahwa Ijma' bukan hujjah,       dengan alasan:
a)     Setiap individu mujtahid itu mungkin saja bersalah dan hal ini bisa juga terjadi dalam jama’ah mereka. Penggabungan satu sama lainnya yang mungkin tersalah itu tidak mustahil memungkinkan mereka menjadi salah juga.
b)     Firman Allah yang memerintahkan taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri itu menunjukkan bahwa adanya perintah pengembalian urusan yang disengketakan kepada Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Karena itu jika fuqaha generasi terdahulu Ijma' tentang suatu urusan lalu ditentang oleh fuqaha generasi sesudahnya, maka wajib mengembalikan permasalahannya kepada Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Oleh karena itu, ijma' generasi terdahulu itu, tidak menjadi hujjah terhadap generasi sesudahnya. Karena itu pula argumentasi jumhur tentang kehujjahan ijma' dengan ini dan bahwa kesepakatan itu tidak perlu kembali pada kitab dan sunah adalah tidak benar karena adakalanya kesepakatan mujtahid itu terjadi dalam hukum yang mereka perselisihkan sehingga mau tidak mau harus dikembalikan kepada Kitab dan Sunah.
c)     Mu'az bin Jabal ketika diutus Rasulullah ke Yaman tidak menyebutkan ijma' diantara dalil-dalil tempat rujuknya dalam memutuskan hukum, sementara pernyataan Mu'az itu diakui oleh Rasul. Yang demikian menunjukkan bahwa ijma' bukan menjadi hujjah.
                  Selanjutnya, mereka menolak semua argumentasi yang dikemukakan oleh Jumhur      Ulama, dengan alasan sebagai berikut:
            Semua hadits yang dipegang oleh Jumhur itu adalah hadits ahad yang tidak menghasilkan keyakinan tentang kehujjahan ijma'. Sekiranya diterima atas dasar mutawatir maknanya, maka ia ditempatkan untuk terpeliharanya umat dari kesalahan dan kesesatan dalam menyepakati kekufuran dan menyalahi dalil qath'i saja. Hal ini mengingat bahwa terdapat hadits Nabi yang menunjukkan bahwa kesalahan itu bisa terjadi dalam umat, yaitu sabda Nabi SAW.:
اِنَّاللهَ لَايَقبِضُ العِلمَ اِنتِزَاعًا يَنتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ وَلَكِن يَقبِضُ العِلمَ بِقَبضِ العُلَمَاءِ حَتَّى اذالم يبق عالم التخذ الناس رءوساء جهالاء فالسئلوا فافتوا بغيرعلم فضلوا واضلوا (رواه البخاري ومسلم)
      Artinya:
"Sungguh Allah tidak mencabut ilmu itu dengan mencabutnya dari para hamba, tetapi Ia mencabut melalui kematian Ulama, sehingga bila tidak ada lagi orang alim, maka manusia pun mengangkat orang jahil menjadi pemimpinnya. Mereka bertanya dan si pemimpin pun memberi fatwa tanpa pengetahuan, yang akibatnya mereka menjadi sesat dan si pemimpin merupakan pembuat (pokok pangkal timbulnya) kesesatan." (HR Bukhari dan Muslim)
            Sebenarnya, semua dalil/argumentasi Jumhur tentang kehujjahan ijma' tidak satupun yang qath'i dilalahnya, karena baik ayat maupun hadits tidak qath'i dilalahnya terhadap kehujjahan ijma' dan tidak pula secara tegas tentang itu.
            As-Syaukani berkomentar bahwa suatu keanehan dikalangan fuqaha bila mereka menetapkan kehujjahan ijma' dengan keumuman (zhanni) ayat dan hadits, lalu mereka ijma' bahwa orang yang mengingkari terhadap apa yang dicakup keumuman tersebut tidak kafir dan tidak pula fasik bilamana keingkaran itu mempunyai ta'wil. Kemudian mereka mengatakan bahwa hukum yang disimpulkan ijma' adalah qath'i yang mengakibatkan kafir dan fasiknya orang yang menyalahi ijma' itu.Seolah-olah mereka menempatkan yang cabang lebih utama daripada pokok.[13]
Kehujjahan Qiyas
      Para Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan qiyas. Dalam hal ini ada beberapa pendapat diantaranya:
1.     Jumhur ulama ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil istinbat hukum-hukum syara'/agama.
      Alasan mereka adalah :
      Firman Allah SWT dalam QS. Al Hasyr:2
….فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ….
      Artinya :
      "Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS. Al Hasyr:2)
I'tibar dalam ayat ini berasal dari kata ubur yang artinya melewati atau melampaui. Sebab memang qiyas ialah melewati/melampaui dari hukum ashl (pokok) kepada hukum cabang (furu'). Jadi qiyas termasuk ke dalam ayat tersebut.
2.     Sebagian ulama Syi'ah dan segolongan dari ulama Mu'tazilah seperti An-Nazzam juga ulama-ulama dzaririyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah.
3.     Al Quffalusysyasyi dari golongan Syafi'iyah dan Abdul Hasan A-Bashri dari golongan Mu'tazilah. Keduanya berpendapat bahwa penetapan hukum melalui qiyas wajib kita lakukan baik secara agama maupun secara syari'at.[14]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ijma’ adalah kata benda verbal (masdar) dari kata arab ajma’a, yang mempunyai dua makna; memutuskan dan menyepakati sesuatu. Secara istilah ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid atas hukum suatu masalah setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Menurut bahasa qiyas adalah mengukur sesuatau kepada sesuatu yang lain agar diketahui persamaannya. Menurut istilah qiyas adalah menyamakan cabang pada asalnya karena ada illat atau alasan yang mengumpulkannya dalam hukum.
Macam-macam ijma’: 1. Ijma’ sharih     2. Ijma’ sukuti
Macam-macam qiyas: 1. Qiyas aula        2. Qiyas musawi
                                    3. Qiyas dalalah    4. Qiyas syibhi
Syarat-syarat ijma’:
1.     Kesepakatan para mujtahid Islam.
2.     Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid.
3.     Hendaknya kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada pada masa       terjadinya masalah fiqhiyah dan pembahasan hukumnya.
4.     Kesepakatan para mujtahid itu hendaknya harus terjadi sesudah Rasulullah SAW. wafat.
Syarat-syarat qiyas:
1.     Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada hukum pokoknya.
2.     Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok.
3.     Illat harus tetap berlaku, manakala ada illat, tentu ada hukum, dan tidak ada hukum bila tidak ada illat.
Rukun Ijma’
Apabila suatu masalah muncul dan meminta perhatian mujtahid umat Islam pada waktu peristiwa itu terjadi, dan mereka mencapai kesepakatan bulat tentang ketentuannya, maka berlakulan bahwa  ketentuan itu disepakati benar dan menjadi ketentuan otoritatif syari’ah, apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Rukun Qiyas
1.     Ashal (yang disamai)
2.     Fara’ (yang menyamai)
3.     Hukum asal.
4.     Ilat / alasan yang mengumpulkan dalam hukum.
Kehujjahan Ijma'
1.     Jumhur Ulama berpendapat bahwa ijma' adalah hujjah yang wajib diamalkan
2.     Al Nazham, sebagian Mu'tazilah dan Syiah berpendapat bahwa Ijma' bukan hujjah
Kehujjahan Qiyas
1.     Jumhur ulama ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil istinbat hukum-hukum syara'/agama.
2.     Sebagian ulama Syi'ah dan segolongan dari ulama Mu'tazilah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah.
3.     Al Quffalusysyasyi dari golongan Syafi'iyah dan Abdul Hasan A-Bashri dari golongan Mu'tazilah. Keduanya berpendapat bahwa penetapan hukum melalui qiyas wajib kita lakukan baik secara agama maupun secara syari'at








[1] Dr. Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, (Malaysia: Pustaka Pelajar, Maret 1991), hlm. 219.
[2] Drs. Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, Oktober 2000), hlm. 74-75.
[3] Saeful Hadi, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Sabda Media, April 2009), hlm. 99.
[4] Dr. Muhammad Hashim Kamali, Op. Cit., hlm. 255.
[5] Saeful Hadi, Op. Cit., hlm. 108.
[6] Drs. Chaerul Umam, dkk, Op. Cit., hlm. 93.
[7] Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, Ilmu Usul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, Maret 2007), hlm. 72-73.
[8] Drs. Chaerul Umam, dkk, Op. Cit., hlm. 99-103.
[9]Ibid., hlm. 75-78.
[10]Ibid., hlm. 96-99.
[11] Dr. Muhammad Hashim Kamali, Op. Cit, hlm. 222-224.
[12]Saeful Hadi, Op. Cit, hlm. 108-109.
[13] Drs. Chaerul Umam, dkk, Op. Cit., hlm. 80-85.
[14]Ibid., hlm. 101-103.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAFAL YANG DITINJAU DARI SEGI KEJELASANNYA DAN CAKUPANNYA

STUDI ISLAM KAWASAN