MAKALAH
DILALAH DAN MACAM-MACAMNYA
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Masturi, Lc., M.Hum


Disusun Oleh  :
Kelompok 4
1.     Achmad Fandy S.       ( 1710610053 )
2.     Nunin Maulidah         ( 1710610054 )
3.     Purwaningsih              ( 1710610055 )
4.     Izza Mafaza R.            ( 1710610056 )



PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN AKADEMIK 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sumber hukum utama umat islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits, karena dari dua pedoman itu sangat banyak tergantung petunjuk hidup yang terdapat di dalamnya, baik itu petunjuk hidup kita di dunia yang sangat beragam mulai dari kita lahir sampai kita meninggal, dan juga sebagai petunjuk bagaimana menuju jalan akhirat dengan mendapatkan keridloan Allah SWT. Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum memberikan berbagai pengertian yang dapat digali dari berbagai lafadz-lafadz yang terdapat di dalamnya.Untuk menggali dan mengenali bagaimana kita bisa lebih paham terhadap lafadz-lafadz tersebut maka dapat dipahami melalui metode kajian “dilalah lafdziyah dan dilalah ghoiru lafdziyah”.Kedua dilalah ini apabila ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui suatu lafadz yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Assunnah.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang dilalah lafdziyah dan dilalah ghoiru lafdziyah menurut Hanafiah, dilalah mantuq dan dilalah mafhum menurut Syafi’iyah.

B.    Rumusan Masalah
1.     Apa pengertian dilalah?
2.     Bagaimana pembagian dilalah menurut Hanafiah?
3.     Bagaimana pembagian dilalah menurut Syafi’iyah?

C.    Tujuan
1.     Untuk mengetahui definisi dilalah.
2.     Untuk mengetahui pembagian dilalah menurut Hanafiah.
3.     Untuk mengetahui pembagian dilalah menurut Syafi’iyah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Dilalah
Dilalah adalah petunjuk yang menunjukkan makna yang dimaksudkan. Dalam Al-Misbahul Munir disebutkan :

الدلالة مايقتضيه اللفظ عنذ الا طلاق 
Artinya : “Dilalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal, ketika lafal itu diucapkan secara mutlak.”[1]
Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan tentang dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali baik secara qat’i maupun secara zhani.
Dilalah itu sendiri sangat penting bagi ilmu ushul fiqih karena dilalah itu sendiri adalah bagian dari ilmu ushul fiqih dan fungsinya yakni menunjukan arti yang jelas dari dasar dasar hukum islam atau dari ushul fiqih itu sendiri.

B.    Pembagian dilalah menurut Hanafiah
Menurut ulama Hanafiah dilalah dibagi menjadi dua bagian yaitu dilalah lafdziyah dan dilalah ghairu lafdziyah.
1.     Dilalah Lafdziyah
Dilalah Lafdziyah ini ada empat macam :
a)     Ibaratun Nash
Ibaratun Nash ialah petunjuk yang diambil dari pengertian lafal (sighat) dan dari susunan kalimat (siyaqul kalam).


Contoh :
و احل الله البيع وحرم الربا
Artinya : “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah : 275)
Lafal nash ini mempunyai dua makna, pertama bahwa jual beli tidak sama dengan riba, dan kedua jual beli hukumnya halal, sedangkan riba hukumnya haram. Kedua makna ini dipahami dari lafal nash dan susunan asli dari kalimat. Ayat ini merupakan jawaban dari pendapat orang Yahudi yang mengatakan jual beli sama dengan riba yang dipahami dari lafal dan susunan kalimat yang bukan asli.
b)     Isyaratun Nash
Isyaratun nash ialah makna yang dapat dipahami bukan dari lafal dan susunan kalimat nash, tetapi dari luar nash. Contoh :
و على المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف
Artinya : “ dan kewajiban Ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” ( QS. Al-Baqarah : 233)
Dipahami melalui ibaratun nash bahwa nafkah dan pakaian ibu merupakan tanggungan suami. Namun dipahami melalui isyaratun nash, bahwa ayah saja yang berkewajiban memberikan nafkah kepada anaknya karena anaknya itu adalah anaknya sendiri.Kalau ayah mengambil atau membinasakan harta anaknya, maka si ayah tidak dituntut untuk mengganti, karena harta tersebut adalah harta anaknya sendiri.
c)     Dilalatun Nash
Dilalatun nash ialah arti dan makna yang dipahami dari jiwa dan arti yang dapat dipikirkan dari nash itu. Karena itu, kalau ibaratun nash menunjukkan suatu kasus yang sudah ditetapkan hukumnya dan diterangkan tentang sebab (illat) hukumnya, maka apabila ditemui pada kasus lain yang sebabnya sama dengan kasus yang sudah terjadi, baik kuantitas sebab pada kasus yang baru itu sama dengan kuantitas sebab pada kasus yang terdahulu atau lebih berat lagi, maka hukum kedua kasus itu disamakan, karena dipahami bahwa nash itu mencakup hukum pada kedua kasus itu.
Contoh pertama :
.....ولا تقل لهما اف......
Artinya : “ Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.” (QS. Al-Isra’ : 23)
Dipahami dari ibaratun nash, yaitu dilarang mengucapkan ah kepada kedua orang tua, sebab akan menyakiti perasaannya. Oleh sebab itu, dilarang juga dalam perbuatan lain, seperti memukul dan mencaci karena memukul lebih berat daripada mengucapkan ah.
Contoh kedua :
ان الذين ياكلون اموال اليتامى ظلما انما ياكلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا
Artinya : ”Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” ( QS. An-Nisa’ : 10)
Dipahami dari ibaratun nash, bahwa haram bagi para wali memakan harta anak yatim secara zalim dan dipahami melalui dilalah-nya yaitu haram juga bagi orang lain, dan bukan hanya haram memakannya saja namun juga haram membinasakannya. Karena itu, setiap pelanggaran terhadap anak yatim yang tidak berdaya mempertahankan hartanya merupakan kezaliman. Jadi, pengertian haram memakan harta anak yatim secara zalim melalui ibaratun nash dan pegertian haram membinasakannya melalui dilalatun nash.
d)     Iqtidatun Nash
Iqtidatun nash ialah pengertian yang diambil dari suatu lafal yang tidak akan jelas arti kalimatnya kalau lafal itu tidak di takwil kan, maka dengan ta’wil barulah pengertian sesuai dengan kenyataan.Contoh :
رفع عن امتي الخطاءوالنسيان وما استكرهوا عليه
Artinya : “Diangkat dari umatku (dosa) kesalahan, lupa dan yang dipaksakan.” (HR. Tabrani dari Saubun)
Melalui ibaratun nash dapat dipahami bahwa perbuatan akan diangkat apabila terjadi kesalahan, lupa, atau karena dipaksakan. Namun pengertian ini tidak cocok dengan kenyataan maka agar pengertiannya cocok dengan kenyataan, kata angkat di ta’wilkan dengan kata dihapuskan.Dengan itu barulah jelas maksudnya.
Keempat macam yang diterangkan di atas, kekuatanya tidak sama. Ibaratun nash lebih kuat daripada isyaratun nash, karena ibaratun nash adalah makna yang langsung dipahami dari lafal dan susunan kalimatnya. Ibaratun nash dan isyaratun nash lebih kuat daripada dilalatun nash dan iqtidhaun nash. Ibaratun nash dan isyaratun nash dipahami dari mantuq nash, yakni diperoleh dari pengertian lafal dan susunan kalimatnya, sedangkan dilalatun nash dan iqtidhaun nash didapat dari mafhum dan jiwa serta dari yang dapat dipikirkan dari nash itu. Oleh karena itu, kalau terjadi pertentangan antara ibaratun nash dan isyaratun nash, maka yang didahulukan adalah mafhum ibarat.
2.     Dilalah Ghairu Lafdziyah
Para ulama Hanafiah membagi dilalah yang bukan lafal dalam empat bagian, yang semuanya dinamakan bayan dharurat, yaitu penjelasan yang dapat dipahami dengan mudah.Sifat dari keempat lafal tersebut adalah dilalah sukut, artinya petunjuk yang dapat dipahami bila dihubungkan dengan perkataan (dilalah lafal) dalam memfaedahkan hukum.
a)                                                                                                                 ان يلزم عنن مذكور مسكوت عنه
Artinya : “ Lazim (harus ada) dari hukum yang disebutkan, suatu hukum bagi yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu).”
Dalam salah satu firman-Nya diterangkan bahwa warisan yang diperoleh ibu bapak adalah seperenam dari yang ditinggalkan oleh seorang anaknya yang meninggal bila ia mempunyai anak. Jika yang meninggal itu tidak mempunyai anak, hartanya hanya diwariskan kepada ibu bapaknya saja, maka ibu menerima sepertiga.Susunan perkataan ini memberi pengertian bahwa warisan itu hanya diterima oleh ibu bapak dan sepertiga itu dari ketentuan ibu (hak yang hanya diperoleh ibu).Maka lazimlah bahwa dua pertiga diterima (diambil) oleh ayah.Karena diterangkan bahwa yang menerima warisan dalam ayat tersebut hanya ibu dan ayah sedangkan untuk ibu diterangkan sepertiga, tentulah kita pahamkan bahwa dua pertiga lagi untuk ayah.

b)                                                                                                                     دلالة حال الساكت الذي وظيفته
Artinya : “ Dilalah (petunjuk) yang dipahamkan dari keadaan orang yang diam (tidak menerangkan apa-apa), sedangkan tugasnya menerangkan hukum, baik umum maupun dalam kejadian yang dihadapi saja.”
Inilah sebabnya taqrir Rasul dipandang sunnah.Termasuk dalam bagian ini adalah diamnya gadis yang masih bikir, apabila diminta keizinannya oleh walinya untuk dikawinkan, atau oleh wakil walinya, dengan seseorang yang ditunjukkan.Diamnya itu menunjukkan keridhaannya.
c)                                                                              اعتبار سكوت السا كت دلالة كالنطق لدفع التعزير
Artinya : “ Memandang diam orang yang diam itu merupakan satu petunjuk, sama dengan tuturan nya, untuk menolak sesuatu.”
Seperti seorang yang melihat anak yang di bawah pengawasannya sedang menjual sesuatu, tetapi dia tidak mencegahnya.Maka diamnya itu menunjukkan keizinannya.Mereka beranggapan bahwa diam itu, menunjukkan keizinan.

d)                                      دلالة المسكوت على تعيين معدود تعورف حذفهضرورة طول الكلام
Artinya : “Dilalah diam terhadap penentuan bilangan yang biasa diabaikan (tidak disebut) dalam pembicaraan.”
Umpamanya : dikatakan seratus dan satu dirham atau seratus dan satu dinar. Maka walaupun tidak tegas dikatakan seratus dirham dan satu dirham lagi tambahannya, namun tetap dipahamkan bahwa yang dikehendaki dengan seratus itu, adalah dirham atau dinar dan sebagainya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang menjadi dalil di sini, bukan semata-mata didiamkan itu, melainkanqarinah-qarinah yang mengelilinginya.[2]
C.    Pembagian dilalah menurut Syafi’iyah
1)     Dilalah Mantuq
Suatu nash kalau di qaid kan dengan sesuatu, baik sifat, syarat, gayah (batas), atau adad (bilangan), maka hukum yang diperoleh dari nash tersebut dinamakan Mantuq. Jadi mantuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri.
Mantuq dibagi menjadi dua yaitu:
a)   Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi. Seperti firman Allah SWT:
فليصوموا ثلاثة ايام
Artinya: “Maka hendaklah puasa tiga hari.”
b)  Zhahir, yaitu suatu perkatAan yang menunjukkan suatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendaki kepada penta’wilan. Seperti firman Allah SWT:
ويبقى وجه ربك
Artinya:“Dan kekallah wajah Tuhan engkau”. (Q.S Ar-Rahman:27)
Wajah dalam ayat ini diartikan dengan dzat, karena mustahil bagi Tuhan mempunyai wajah.


2)     Dilalah Mafhum

Mafhum adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal tidak ditempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan tersebut. Seperti firman Allah SWT :
فلا تقل لهما اف
Artinya :“Maka janganlah kamu katakan kepada dua orang ibu bapakmu perkataan yang keji”. (Q.S Al-Isra’ : 23).
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan  mafhum. Pengertian mantuq adalah ucapan lafal itu sendiri (yang nyata) = uffin, yaitu jangan kamu katakan perkataan yang keji kepada dua orang ibu bapakmu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan, yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang), karena lafal-lafal yang mengandung pemahaman yang sama terhadap arti dari ayat tersebut. Pemahaman yang diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq, sedangkan dari segi pembicaraan yang tidak nyata disebut mafhum.
Mafhum terbagi menjadi dua:
a)   Mafhum muwafaqoh, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan. Mafhum muwafaqoh dapat dibedakan kepada:
1)       Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya dari pada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah yang artinya:”jangan kamu katakana kata- kata yang keji kepada dua orang ibu bapakmu.” Sedangkan kata- kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
2)       Lahnal Khitab, yaitu apabila yang diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT :

ان الذين ياء كلون اموال اليتمى ظلما انما ياءقلون في بطونهم نارا
Artinya : “Mereka yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api ke dalam perut mereka.” ( An- Nisa’: 10 )
Sebenarnya lahnal khitab dan dilalatun nash itu keduanya hanya dibedakan pada istilah pembagiannya saja, arti dan maksudnya itu sama Cuma kalau lahnal khitab itu menurut syafi’iyah sedangkan dilalatun nash itu menurut hanafiyah.
b)  Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda dari ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikannya dari pada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT :
اذانودي للصلوة من يوم الجمعة فا سعوا الى ذكرالله وذروا البيع
Artinya : “Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan tinggalkanlah jual beli.” ( Al- Jumah:9 )
Dipahami dari ayat ini bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si muadzin dan sesudah mengerjakan sholat.Mafhum mukhalafah ini dinamakan juga dalil khitab.
Mafhum mukhalafah ada lima macam yaitu:
a.    Mafhum mukholafah wasat ( sifat ), seperti yang diterangkan dalam firman Allah SWT:
وحلاءل ابنا ءكم الذين من اصلابكم
Artinya : “dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandung (menantu).” ( An- Nisa’: 23 )
Sesuai dengan mafhum mukhalafah ayat ini bahwa mantan istri yang bukan anak kandung, seperti anak susuan dan anak angkat boleh dinikahi.
b.   Mafhum mukhalafah gayah ( batas )
Seperti dalam firman Allah SWT:
وكلواواشربواحتى يتبين لكم الخيط الابيض من الخيط الاسود من الفجر
Artinya : “ dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yang fajar.” ( Al- Baqarah: 187 )
Mafhum gayah dalam ayat ini ialah kalau nyata benang  putih maka tidak boleh lagi makan dan minum.
c.    Mafhum mukhalafah syarat
Allah berfirman:
فان طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا
Artinya : “Kemudian jika mereka merelakan kepadamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu degan senang hati (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” ( An: Nisa’:4 )
Mafhum mukhalafah syarat ayat ini adalah kalau mereka tidak senang, maka janganlah mengambil sebagian mas kawin itu.
d.   Mafhum mukhalafah ‘adad ( bilangan )
Seperti dalam firman Allah SWT:
فاجلدوهم ثمانين جلدة
Artinya : “Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.” ( An- Nur:4 )
        Menurut mafhum mukhalafah ‘adad dalam ayat ini ialah jumlah pukulan tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang dari delapan puluh kali.

e.    Mafhum mukhalafah laqab
Seperti dalam perkataan:
محمد رسول الله
Artinya : “ Muhammad SAW. Adalah Rasul Allah.”
Atau seperti dalam hadis:
فى البر صدقة
Artinya : “Pada gandum itu ada zakatnya.”
فى الغنم زكاة
Artinya : “ Pada kambing itu ada zakatnya.”
Mafhum mukholafah laqab dalam ketiga contoh diatas  ialah tidak ada selainMuhammad yang diangkat menjadi rasul, dan selain gandum dan kambing tidak wajib zakat.
Syarat  mafhum mukholafaah ada empat yaitu
1)   Mafhum mukholafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqoh.
2)   Yang disebutkan atau mantuq bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
3)   Yang disebutkan atau mantuq, bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
4)   Yang disebutkan atau mantuq harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.[3]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.     Dilalah adalah petunjuk yang menunjukkan makna yang dimaksudkan.
2.     Pembagian Dilalah ada dua yakni:
a.       Hanafiyah
1)     Dilalah Lafdziyah.
a)     Ibaratun Nash
b)     Isyaratun Nash
c)     Dilalatun Nash
d)     Iqtidatun Nash
2)     Dilalah Ghoiru Lafdziyah
a)     ان يلزم عنن مذكور مسكوت عنه
b)     دلالة حال الساكت الذي وظيفته
c)     اعتبار سكوت السا كت دلالة كالنطق لدفع التعزير
d)     دلالة المسكوت على تعيين معدود تعورف حذفهضرورة طول الكلام
b.     Syafi’iyyah.
1)     Dilalah Mantuq
a)     Nash
b)     Zhahir
2)     Dilalah Mafhum
a)     Mafhum Muwafaqoh
-        Fahwal khitab
-        Lahnal Khitab
b)     Mafhum Mukholafah
-        Mafhum  Mukholafah Wasat (sifat)
-        Mafhum Mukholafah Gayah (batas)
-        Mafhum Mukholafah Syarat
-        Mafhum Mukholafah ‘adad (bilangan)
-        Mafhum mukholafah laqab
DAFTAR PUSTAKA

Aminudin, Achyar dan Khairul Uman. 2001. Ushul Fiqih II. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Karim, Syafi’i. 2001.Fiqih Ushul Fiqih. Bandung : CV. Pustaka Setia.



[1]Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 25
[2]Ibid, hlm. 39-41

[3]Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 180-183

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAFAL YANG DITINJAU DARI SEGI KEJELASANNYA DAN CAKUPANNYA

STUDI ISLAM KAWASAN

METODE IJTIHAD: IJMA’ DAN QIYAS